![]() |
Gunung Merbabu (29/12/2016) |
Katanya
kalau mau tau sifat seseorang, maka ajaklah dia mendaki gunung. Bagiku gunung
lebih dari sekedar ingin tahu sifat orang lain, tapi juga untuk mengetahui
sifat kita yang sebenarnya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa seseorang akan
terlihat sifat aslinya saat menghadapi kesulitan, tapi mendaki gunung bukan
berarti kita hanya mempersulit diri. Walaupun banyak yang mempertanyakan “ngapain
sih lu, naik gunung capek – capek trus ntar turun lagi, bahkan bisa mangancam
nyawa lu sendiri juga?” Ya pertanyaan tersebut tidaklah salah, kalau dipikir
pakai logika mungkin benar saja bahwa mendaki gunung terkesan tidak berfaedah,
tapi bagiku tidak demikian.
Bagiku
gunung bukan hanya sebagai tempat rekreasi, tapi juga sebagai tempat ‘lari’, ya
tempat melarikan diri dari segala kepenatan, segala kejenuhan, segala
rutinitas, bahkan sampai menjadi tempat menyembuhkan sakit hati. Bagiku gunung
bukan sebuah tempat untuk pergi, melainkan tempat untuk pulang, tempat kita
menemukan arti pulang yang sesungguhnya, saat kita mendaki tujuan kita bukanlah
puncak, tapi justru pulang dengan selamat. Bagiku gunung sungguh mempunyai arti
yang luar biasa, bukan
hanya tentang perpisahan tapi juga pertemuan, bukan
hanya tentang tawa dan canda, bukan hanya tentang puncak dan keindahan lainnya,
bukan hanya tentang aku dan kamu yang mungkin pernah menjadi kita kemudian
menjadi aku dan kamu kembali, melainkan tentang besarnya kuasa Allah, tentang
mengingat betapa kecilnya kita sebagai manusia.
Pertama
kali aku mulai mendaki dan kemudian jatuh cinta dengan dunia pendakian pada
tahun 2016, ya walaupun tidak sepenuhnya ku jatuh cinta karena pengalaman
pertama naik gunung ini yang luar biasa. April 2016, aku dan temanku mengikuti
pendakian masal dari salah satu kampus di Bogor, ya walaupun aku dan beberapa
temanku bukan dari almamater kampus tersebut, tapi karena sifatnya open trip jadilah kami berangkat dari
Jakarta. Aku pernah menuliskan kisah aku ini di tulisan sebelum – sebelumnya,
udah agak lama sih jadi silahkan cari aja. Hehehe. Kembali ke kisah tadi, saat
itu aku ke gunung Gede yang ada di Bogor ber enampuluh orang, karena emang
pendakian massal. Ya singkat cerita aku sampai puncak hujan deras dan berkabut,
dan fyi aku sama rombongan lain ke puncak dengan bawa carrier karena kita
lintas jalur (naik via Cibodas, turun via Putri dan ngecamp di Surken), dan di
puncak otomatis kita gak dapet view apa – apa tidak sesuai ekspektasi yang
kubayangkan. Di camp pun hujan dan dingin banget, ya intinya jauh dari
ekspektasi menyenangkan yang aku bayangkan, mungkin karena aku sebelumnya gak
izin orang tua kalau mau naik gunung, jadilah kualat (jangan ditiru ya). Sebelum
berangkat hari Jumat seperti biasa harusnya jadwal aku pulang ke rumah, tapi
aku bilang gak bisa pulang karena mau pergi ke Bogor ada acara (bener dong gak
bohong juga), tapi aku gak bilang mau naik gunung, kalau bilang pasti gak akan
dibolehin, jadi aku putuskan akan bilang minggu depannya setelah aku kembali
dan benar aku sudah lakukan. Ekspresi orang tua aku pas aku cerita aku naik
gunung ya tentu saja kaget, tapi tau anaknya selamat dan gak kenapa – kenapa besokannya
pas naik gunung aku izin dengan benar, hehehe.
Mulai
dari april itu, akhir tahun aku diajak ke gunung Merbabu oleh salah seorang
teman, ya tentu saja aku iyakan, karena aku merasa aku harus ulang naik gunung
lagi, dan gunung kedua ini sungguh membuat ku jatuh sedalam – dalamnya untuk
terus naik gunung. Aku mendapatkan apa yang aku cari. Berbincang tanpa harus
saling menunduk masing – masing, indomie yang lebih enak dari biasanya, teman
yang tidak egois dan saling memahami, badai yang rasa dinginnya mengalahkan AC
bersuhu 16 derajat,samudra awan yang indah, menyembuhkan phobia ketinggian ku
perlahan, dan perasaan dimana aku sebagai manusia sangat kecil. Yang terpenting
aku sungguh mengagumi betapa hebatnya Allah, karena menciptakan alam yang
begitu indah.
Kalau
ditanya “kenapa sih naik gunung?” jawabannya simple “ya karena aku sudah jatuh
cinta.”. Mungkin emang terkesan bodoh atau gak berfaedah tapi kalau sudah jatuh
cinta mau gimana lagi. Dari pendakian kedua itu aku semakin jatuh cinta,
semakin ingin mendaki ke berbagai gunung yang belum pernah aku daki. Bertemu dengan
orang – orang baru, bercengkrama sambil ditemani indomie, kopi atau bersama
kartu remi. Saling memberi motivasi, ya walaupun aku tahu banget motivasi hanya
sekedar ilusi, seperti “semangat mba, puncak udah deket tuh, udah keliatan kok”
atau “semangat mba puncak udah 5 menit lagi” dan pada kenyataannya aku mendaki
sampai 2 jam lebih baru sampai puncak. Tapi itu hal yang sungguh aku rindu.
Kalau
ditanya “gunung mana yang paling berkesan?” aku akan jawab semua gunung
berkesan. Semua gunung yang pernah ku daki paling berkesan menurut aku, karena
setiap perjalanan punya kisahnya masing – masing, dan masih terekam jelas dalam
ingatan aku. Dari mulai kabut di puncak, kena badai di Merbabu, pendakian
malam, hampir hipo, tenda dikelilingin babi hutan sampai luka lebam yang begitu
parah akibat pendakian. Ya semua punya cerita dan teramat berkesan.
Kalau
ditanya “kapan mau gantung carrier (berhenti mendaki sepenuhnya)?” jawabannya
aku belum tahu, bahkan aku ingin mengajak anak – anak aku nanti naik gunung,
hehehe (terlalu jauh mikirnya sih ini), tapi namanya juga harapan ya dan gak
salah juga kan.
Kalau
ditanya “pernah ada kisah horror gak di Gunung?” jawabannya Alhamdulillah selama
aku mendaki belum ada kisah horror apapun, ya mungkin karena udah sugesti di
dalam pikiran gak ada apa – apa kali ya, sama kalau kita naik gunung harus
mematuhi aturannya, walaupun mungkin kita gak percaya ya tapi kita harus tetap
menghormatinya.
Kalau
ditanya “Kalau naik gunung gitu buang air kecil sama buang air besarnya gimana?”
jawabannya ya di semak – semak lah karena gak semua gunung ada toilet. Kalau buang
air besar sendiri, aku belum pernah sih, karena biasanya sebelum mulai naik aku
BAB dulu (pokoknya ini wajib gimanapun caranya kalo aku), terus nanti turun
baru BAB lagi.
Ya
itulah sedikit banyak kisah aku tentang mendaki gunung. Aku bukan pecinta alam
yang paham banget ilmu survival, hanya sekedar suka dan kemudian merealisasikan
kesukaan itu. Aku pun bukan pendaki professional, melainkan hanya pendaki
amatir, yang kadang pas mendaki kalau bertemu medan terjal jadi punya mental
tempe. Hehehe
Semoga bermanfaat apa yang aku tulisan ini. Kalaupun gak bermanfaat semoga menghibur kalian yang membaca. Sampai jumpa di tulisan aku selanjutnya ya..
Komentar
Posting Komentar