![]() |
picture from google |
Diawali
dari kisah seorang pengembala kambing yang sangat jujur bernama Mirza. Suatu
hari Mirza sedang mengembalakan kambingnya untuk mencari makan di ladang yang
cukup jauh dari rumahnya. Mirza sangat memperhatikan kehalalan yang dikonsumsi
tidak hanya untuk dirinya dan keluarganya tapi juga untuk kambing
peliharaannya, itulah pesan dari ayahnya. Mirza berasal dari keluarga berbangsa
Kurdistan. Generasi Mirza adalah keturunan keempat dari dua bersaudara yang
dikirim dari Cizre di Tigris untuk berdakwah dan menyebarkan agama di kawasan
itu. Abdullah, ayah Mirza masih memiliki garis keturunan dengan Ahlul Bait,
oleh karenanya ayah Mirza sangat disiplin mendidik Mirza dan adik – adiknya
dengan ilmu agama. Abdullah adalah seorang petani biasa dan memiliki beberapa
ekor kambing yang setiap harinya di kembalakan oleh Mirza. Biasanya Mirza
mengembalakan kambingnya setelah subuh, ia rela berjalan cukup jauh demi
kambingnya mendapatkan makanan yang halal. Suatu hari ketika Mirza
mengembalakan kambingnya, setelah shalat dhuha ia tertidur, dan ketika ia
terbangun ia mendapatkan seekor kambingnya tidak ada di ladang tersebut. Ia pun
mencari kembingnya ke rumah penduduk di sekitar ladang tersebut. Tidak jauh
Mirza berjalan, ia mendapati kambingnya makan rerumputan di ladang milik salah
seorang penduduk. Kemudian Mirza menemui pemilik ladang tersebut untuk meminta
maaf dan meminta keikhlasan pemilik ladang atas rumput yang telah dimakan oleh
kambingnya. Saat bertemu dengan pemilik ladang tersebut, pemilik ladang justru
menanyakan terkait orang tua dan tempat tinggal Mirza. Mirza pun semakin merasa
bersalah dan ketakutan, ia meminta maaf dan meminta agar pemilik ladang tidak
mengadukannya kepada orang tuanya. Pemilik ladang tersebut hanya tersenyum
kemudian menyampaikan bahwa ia sudah memaafkan dan mengikhlaskan rumput yang
telah dimakan oleh kambingnya, mendengar hal itu Mirza langsung mengucap
syukur.
Beberapa
hari kemudian, setelah pulang dari mengembalakan kambingnya, Mirza mendapati
pemilik ladang yang beberapa hari sebelumnya ia temui berada di rumah dan
sedang mengobrol dengan kedua orang tuanya Mirza pun merasa gelisah ia segera
meminta maaf kepada pemilik ladang dan kedua orang tuanya atas kelalaiannya. Orang
tuanya pun segera menjelaskan bahwa pemilik ladang tersebut adalah teman baik
ayahnya. Singkat cerita orang tua Mirza dan temannya bersepakat menjodohkan
Mirza dengan putri dari pemilik ladang tersebut yang bernama Nuriye. Nuriye
adalah gadis shaliha dan ia sudah mengahafal 30 juz Al Qur’an. Nuriye merasa
sangat bersyukur ketika dijodohkan dengan Mirza, karena dirinya tahu keshalihan
Mirza dari kedua orang tuanya. Tidak lama kemudian Mirza dan Nuriye pun menikah
dan dikarunia beberapa orang anak, salah satunya bernama Said. Nuriye dan Mirza
pun sangat menyadari bahwa Said ini berbeda dengan anak – anaknya yang lain,
Said tumbuh dengan didikan langsung kedua orang tuanya yang sangat mencintai
agama, selain itu kecerdasan Said juga sudah diketahui kedua orang tuanya dari
kecil. Said sangat mencintai ilmu dan ia selalu semangat untuk menuntut ilmu.
Ketika usia Said 9 tahun, ia meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk ikut
belajar di madrasah bersama kakaknya, tapi karena usianya yang masih sangat
dini orang tuanya belum mengizinkan Said untuk belajar di Madrasah, Said kecil
pun merasa sangat kecewa, melihat kekecewaan Said, Nuriye pun merasa tidak tega
akhirnya Nuriye memberi tahu bahwa Said dapat belajar dari kakaknya. Setelah
berusia 12 tahun , Said diizinkan untuk belajar di Madrasah bersama kakaknya,
namun di Madrasah tersebut ia di bully
oleh teman – temannya karena Said menjadi murid kesayangan gurunya, dalam
keilmuan Said juga melebihi kakak tingkat di Madrasah tersebut, hingga ia
di’keroyok’ oleh kakak tingkatnya. Said pun kembali ke rumah dan ia melanjutkan
belajar dengan kakaknya.
Setelah
Said berusia 15 tahun ia kembali lagi belajar di Madrasah, karena kecintaannya
dengan ilmu ia pun membaca banyak kitab di madrasah tersebut, hingga setelah
seluruh kitab di madrasah tersebut selesai ia baca dan ia pahami seluruhnya.
Said pun berpindah dari satu madrasah ke madrasah lainnya dan di setiap
madrasah yang ia datangi ia berhasil membaca dan memahami seluruh kitab yang
ada di madrasah tersebut. Saat ia berada di mdrasah milik Syaikh Molla
Fethullah yang setara dengan jenjang universitas, Said membaca dan memahami
kurang lebih 80an kitab dalam waktu 3 bulan, Syaikh Molla Fethullah pun
terkejut dan Syaikh Fethullah menguji pemahaman Said terkait kitab yang telah
dibaca, Said pun berhasil menjawab dengan benar seluruh pertanyaan yang gurunya
ajukan. Syikh Fethullah pun kagum akan kecerdasan yang dimiliki oleh Said dan
Syaikh Fethullah memberikan gelar Badiuzzaman
yang berarti keajaiban zaman. Syaikh Fethullah meminta Said untuk mengajar di
madrasah miliknya, tapi Said menolak dengan santun, Said merasa ia belum pantas
mengajar dan ia masih ingin terus menuntut ilmu. Said pun pamit dari madrasah
tersebut dan melanjutkan perjalanan menuntut ilmunya.
Said
pun melanjutkan perjalanan ke berbagai wilayah dan Negara untuk menuntut ilmu,
ia pergi ke madrasah – madrasah dengan berjalan kaki dan hanya membawa
perbekalan 2 pasang helai pakaian. Saat Said berusia 20 tahun, ia mendapatkan
mimpi dari seorang gurunya agar Said mulai berdakwah, saat itu pula Said mulai
menghafal Al Qur’an beserta terjemahan dan maknanya dalam waktu 20 hari,
setelah ia menghafal Al – Qur’an itu ia baru mulai berdakwah melaksanakan
perintah dari gurunya. Sejak saat itu Said Nursi mulai berdakwah di berbagai
tempat. Saat Said berada di Mardin ia dikunjungin oleh orang paling terhormat
di kota itu, Husyein Celebi Pasya. Husyein Celebi Pasya adalah orang yang
paling dihormati di kota Mardin yang sangat mencintai ulama, ia juga mengagumi
sosok Said Nursi akan kecerdasannya dan keberaniannya dalam berdakwah. Husyein
Pasya pun memberikan banyak hadiah kepada Said Nursi, tapi Said Nursi menolaknya.
Husyen Pasya pun membujuk Said Nursi agar menerima hadiah darinya, akhirnya
Said Nursi hanya menerima senapan yang diberikan oleh Husyein Pasya, namun
Husyein Pasya sangat senang karena Said Nursi mau menerima hadiah yang ia
berikan.
Saat
di Mardin, Said Nursi memperluas cakrawala wawasannya tentang kondisi dunia
islam dan dunia secara luas. Jika sebelumnya, yang menjadi focus utama Said
Nursi adalah membangun akar dan pondasi keilmuan islam sedalam – dalamnya
dengan mengkaji, memahami, dan menghafal puluhan kitab. Di Mardin ia mulai
tergugah memahami urusan politik dan masalah social yang terjadi dalam
Kekhalifahan Turki Utsmani, dan dunia islam secara luas. Badiuzzaman Said Nursi
mulai memahami bahwa Khalifah Turki Utsmani sedang digerogoti penyakit yang
kronis. Ibarat singa yang telah hilang taring dan kekuatannya. Sementara di
dalam, singa itu menderita penyakit yang melumpuhkannya. Berbagai praktik
kelaliman cara memerintah yang absolut menjadi ciri kekhalifahan yang dilakukan
oleh aparat pemerintah. Keshalihan Sultan Abdul Hamid tidak bisa berbuat banyak
ketika system pemerintah telah sakit parah. Disitulah kesadaran Said Nursi
tumbuh. Said Nursi merasa cara menyelamatkan Negara yang sakit itu adalah
dengan cara menghilangkan praktik – praktik tata cara pemerintah yang absolut
dan diganti dengan suasana Negara yang merdeka, bebas dan berkonstitusi.
Konstitusi yang dimaksud adalah pelaksaan ajaran islam yang konsekuen dengan
penuh kesadaran, merdeka tanpa paksaan, sekaligus disiplin dan penuh tanggung
jawab. Karena kesadaran inilah dalam banyak pengajiannya, Said Nursi juga
menyelipkan pentingnya kesadaran umat, dan kesadaran membangun kontitusi yang
islami. Oleh pihak pemerintah Mardin, Said Nursi telah masuk kedalam ranah
politik. Gubernur Mardin, Mutassarif Nadir Bey pun meminta Said Nursi untuk
meninggalkan kota Mardin. Said Nursi menolak permintaan gubernur tersebut.
Akhirnya Nadir Bey menyuruh kepolisian untuk menangkap Said Nursi dan
membawanya ke kota Bitlis.
Di
Bitlis Said Nursi bertemu dengan Omer Pasya, yang merupakan gubernur kota
Bitlis yang juga sangan mencintai ulama. Omer Pasya diberi kewenangan untuk hukuman
yang akan diberikan kepada Said Nursi. Omer Pasya pun menanyakan sikap Said
Nursi kepada polisi penjaganya dari Mardin. Setelah mendengar pernyataan dari
dua polisi yang menjaga Said Nursi, Omer Pasya tidak memberikan hukuman kepada
Said Nursi dan meminta Said Nursi untuk tinggal di rumahnya, Said Nursi sempat
menolak dan berkata untuk tinggal di masjid terdekat saja, namun Omer Pasya
membujuknya dan mengatakan bahwa tinggal di rumahnya sebagai bentuk hukuman
untuk Said Nursi. Said Nursi pun tidak bisa menolak, ia menyetujui untuk
tinggal di rumah Omer Pasya. Selama tinggal di rumah Omer Pasya, Said Nursi
diberikan kebebasan untuk membaca seluruh buku yang ada di perpustakaan
pribadinya, Omer Pasya juga sering kali meminta pendapat Said Nursi untuk
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Suatu siang, gubernur dari
kota Van bernama Hasyan Pasya datang untuk bertemu dengan Omer Pasya. Sebelum
Omer Pasya datang Hasan Pasya sempat bertemu dengan Said Nursi dan sedikit
berbincang. Hasyan Pasya sangat kagum dengan kecerdasan dan keteguhan iman yang
ada pada Said Nursi, kemudian Hasan Pasya meminta izin kepada Omer Pasya untuk
mengajak Said Nursi ke kota Van, awalnya Omer Pasya keberatan dengan permintaan
dari Hasan Pasya, namun setelah mendengarkan alasan dari Hasan Pasya tujuan
dari Omer Pasya mengajak Said Nursi ke Van adalah untuk mengajarkan islam
kepada pemuda dan warga Van, Omer Pasya pun menyetujui permintaan Hasan Pasya.
Pada
tahun 1896, Badiuzzaman Said Nursi tiba di kota Van. Di kota tersebut,
kehadiran Said Nursi disambut dengan suka cita seluruh masyarakat. Said Nursi
pun mulai mendirikan madarasah yang dihadiri oleh banyak orang. Setelah cukup
lama berada di kota tersebut Said Nursi menyampaikan keinginannya kepada
gubernur Hasan Pasya untuk mendirikan sebuah universitas di kota Van. Hasan
Pasya pun menyambut baik keinginan Said Nursi itu, namun izin mendirikan universitas
hanya diberikan oleh pemerintah pusat, sedangkan orang – orang yang berada di
dalam pemerintahan pusat saai itu adalah orang yang sekuler. Hasan Pasya
mengetahui bahwa keinginan Said Nursi itu akan sulit diizinkan oleh pemerintah
pusat karena universitas yang ingin didirikan oleh Said Nursi adalah perpaduan
dari ilmu agama islam sebagai dasar dan ilmu pengetahuan umum sebagai
pelengkapnya. Sedangkan pada masa itu, memang banyak universitas yang
didirikan, tapi universitas itu hanya mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan
menghilangkan ilmu agama islam. Said Nursi menyadari bahwa tindakan yang
dilakukan oleh orang – orang di dalam pemerintah pusat itu adalah usaha untuk
menjauhkan rakyat dari agama islam. Said Nursi sadar sekali bahwa upaya untuk
mengubah keadaan suatu bangsa adalah dengan pendidikan. Akhirnya Said Nursi
berinisiatif pergi ke Istanbul untuk bertemu dengan Sultan Abdul Hamid.
Setibanya
di Istanbul, Said Nursi menginap di sebuah penginapan yang terkenal banyak
orang – orang intelektual menginap disana. Said Nursi pun membuat tulisan
“Menerima setiap pertanyaan dan setiap pertanyaan yang diajukan insyaAllah akan
di jawab, dan tidak akan ditanya balik.” di depan pintu kamarnya. Orang yang
menginap disana pun merasa itu adalah sebuah tantangan untuk berdebat, banyak
orang – orang intelek yang mencoba memberikan pertanyaan baik ilmu umum maupun
ilmu agama dan seluruh pertanyaan yang diajukan kepada Said Nursi dijawab
dengan benar. Karena tindakannya itu, nama Said Nursi menjadi terkenal di kota Istanbul,
yang nantinya itu adalah sebagai jalan untuk menemui Sultan. Said Nursi pun
memutuskan untuk pergi ke istana Sultan, namun belum sempat menemui sultan,
Said Nursi justru ditangkap karena banyak orang – orang pemerintahan yang
mengetahui dirinya dan merasa kehadiran Said Nursi akan membahayakan mereka,
tapi Said Nursi dibebaskan kembali karena tidak terbukti bersalah. Said Nursi
pun mengambil jalan dengan menuliskan pendapatnya di surat kabar, namun hal tersebut
justru membuatnya ditngkap dan Said Nursi dibilang orang gila juga mengancam
pemerintahan. Said Nursi pun dibawa ke rumah sakit jiwa, namun ketika ia
diperiksa oleh dokter kejiwaan, dokter tersebut justru mengagumi kecerdasan
yang dimiliki Said Nursi dan dokter tersebut merekomendasikan agar Said Nursi
dibebaskan. Said Nursi tidak kehabisan cara untuk menyampaikan permintaannya
mendirikan Universitas di kota Van. Saat di Istanbul, saat nursi bertemu dengan
tamu ulama dari Mesir, mereka berbincang – bincang mengenai pendapat Said Nursi
terkait Turki dan Eropa, dan ulama dari Mesis tersebut mengagumi pendapat yang
di sampaikan oleh Said Nursi. Said Nursi mengetahui bahwa keesokan harinya
ulama dari Mesir itu akan bertemu dengan Sultan, Said pun meminta agar dirinya
dapat ikut mendampingi, tapi ulama dari Mesir tersebut tidak bisa memenuhinya
karena ia sadar bahwa ia hanyalah sebagai tamu dan ia hanya diperbolehkan
bertemu dengan Sultan seorang diri, sebagai gantinya Said Nursi diperbolehkan
menyampaikan surat kepada Sultan melalui dirinya. Said Nursi tidak menyia –
nyiakan kesempatan tersebut. Keesokan harinya surat tersebut telah disampaikan
kepada Sultan, Sultan sangat memahami maksud dan tujuan Said Nursi, namun
karena posisi Sultan yang terdesak dan orang – orang sekelilingnya keberatan
akhirnya orang – orang yang sekuler itu menyuruh kepolisian menagkap Said Nursi
dan memenjarakannya. Dari saat itulah Said Nursi berpindah dari penjara satu ke
penjara lainnya karena dianggap mengancam pemerintahan.
Said
Nursi selama kurang lebih 25 tahun hidup di dalam penjara, berkali – kali ia
dijatuhkan hukuman mati dan berkali – kali pula ia diselamatkan Allah saat
sidang di pengadilan. Selama Said Nursi di penjara rezim sekuler terus
menguasai pemerintahan dan bertindak kelaliman, mereka berusaha untuk
meruntuhkan khilafah islamiyah dan menjauhkan rakyat Turki dari islam.
Mengetahui hal tersebut Said Nursi tidak tinggal diam, selama di penjara Said
Nursi terus memberian kajian kepada orang – orang yang di penjara. Said Nursi
juga menuliskan beberapa kitab di dalam penjara. Saat Said Nursi di dalam
penjara, rezim sekuler memanfaatkan kesempatan itu, puncaknya adalah saat
Mustafa Kemal Attaturk meruntuhkan Kekhilafan Daulah Islamiyah. Saat Mustafa
Kemal Atatturk memerintah, ia melarang segala bentuk kegiatan yang berbau
Islam, ia melarang membaca Al Qur’an dalam bahasa Arab, dan ia juga melarang
adzan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Tak sedikit orang yang ditangkap karena
mengumandangkan bahasa Arab atau membaca Al Qur’an dalam bahasa Arab, hukuman
yang diberikan pun sangat kejam bagi yang melanggar. Pada keadaan itu pula,
Said Nursi menulis Risalah Nur yang
kemudian dibagikan secara diam – diam kepada masyarakat melalui murid –
muridnya. Risalah Nur yang ditulis
oleh Said Nursi pun dijadikan sebuah kitab, dan dari situ lah masyarakat Turki
tetap menyalakan api tauhidnya.
Setelah
25 tahun dipenjara, Said Nursi pun dibebaskan bersamaan dengan kalahnya partai
politik yang dipimpin oleh Kemal Attaturk dalam pemilihan pemimpin. Setelah
pergantian pemimpin itulah masyarakat Turki diperbolehkan lagi mempelajari
islam. Meskipun pemimpin pemerintahan sudah berganti, namun militer saat itu
masih dipimpin oleh rezim sekuler yang masih berkaitan dengan Mustafa Kemal
Attaturk. Singkat cerita tidak beberapa lama kemudia Said Nursi wafat. Ia
dimakamkan tak jauh dari kota kelahirannya, namun kemudian makam tersebut
dipindahkan entah dimana oleh orang – orang militer yang takut jasad Said Nursi
membahayakan kepentingan mereka.
Sumber : El Shirazy, Habiburrahman. 2019. Api Tauhid. Jakarta : Republika
Komentar
Posting Komentar